Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd
Pendidikan, dalam kaitannya dengan pembangunan nasional, berfungsi untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) dan secara eksplisit hal tersebut telah terumuskan dalam UU nomo 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam predikatnya yang demikian, maka menjadi sulit bagi pendidikan untuk mengelak dari tuduhan sebagai “penyebab” timbulnya permasalahan seperti timbulnya kesenjangan di berbagai sektor kehidupan.
Pendidikan memang bukan “tertuduh” tunggal dalam permasalahan makro, karena pendidikan itu hanyalah salah satu bagian dari tatanan sosial dalam skala yang lebih global. Namun pada kenyataannya, “kegagalan” para lulusan suatu lembaga pendidikan tinggi memasuki kehidupan riil dalam masyarakat, baik menyangkut perilaku, moral dan mentalitas, maupun dunia kerja, maka lembaga pendidikan dilihat sebagai paling yang bertanggungjawab.
Belum pernah terdengar adanya tuduhan yang sama, tapi ditujukan pada konsumen dan pemakai jasa pendidikan, sehingga lebih memperjelas posisi pendidikan terhadap pasar. Padahal, memposisikan dunia pendidikan identik dengan dunia kerja, atau jalan menuju pekerjaan, maka akan selalu terjadi penilaian yang kurang adil. Sebab, keberanjakan pendidikan dari dunia kerja jauh lebih lamban dari kemajuan-kemajuan yang dicapai sektor industri.
Di bagian lain, pendidikan juga disaratkan dengan beban tujuan yang bersifat normatif, yang kelak diharapkan dapat menjadi tuntunan bagi keberlangsungan kehidupan manusia sesuai dengan tata nilai ideologis dan kultural bangsa. Proses pendidikan diingatkan agar dapat memberi kesadaran kepada manusia akan potensi “kemanusiaan” yang dimilikinya, dan dengan begitu, pendidikan harus mampu merangsang manusia untuk mempergunakan potensi tersebut sesuai dengan tata nilai kemanusiaannya yang luhur dan agung.
Sebagai aspek yang cukup fundamental, sasaran pendidikan lebih bermuara pada upaya memberikan pengetahuan bagi manusia untuk memajukan dan mempertinggi kualitas hidupnya, baik dalam skala kehidupan pribadi, bermasyarakat, maupun berbangsa. Sisi tersebut, juga menjadi satu langkah pembenaran yang tetap memposisikan dunia pendidikan sebagai yang harus bertanggungjawab atas terjadinya berbagai kesenjangan.
Tetapi, sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa dalam kenyataannya perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat, memiliki akselerasi yang lebih pesat dibanding langkah perubahan dan kemajuan dalam dunia pendidikan. Perubahan sosial membawa manusia pada kenyataan bahwa setiap aspek kehidupan bertalian dengan aspek lainnya, dan terjadi saling pengaruh diantaranya. Dalam lingkup tersebut, maka pendidikan dengan sistem yang dianutnya, dituntut untuk dapat mengantisipasi segala bentuk ekses perubahan, baik dalam konteks negatif maupun positif.
Peluang Abad ke-21
Menurut perhitungan tahun Masehi, peristiwa pergatian milenium dalam sejarah peradaban manusia baru pertama kali terjadi, dan kini umat manusia di dunia sedang dalam proses memasuki milenium kedua. Banyak kecenderungan dan ramalan yang diberikan dalam menyambut hadirnya abad baru ini, yang diduga pada abad tersebut yaitu abad ke-21, persoalan lebih kompleks dari sekedar yang dibayangkan(Naisbit, 1990:7).
Banyak pakar menjuluki abad ke-21 sebagai satu era dengan dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun bukan berarti, bahwa menjelang berakhirnya abag ke-20 ini, ilmu pengetahuan dan teknologi belum menunjukkan dominasinya. Realita ini sudah lama dimulai, seperti kasus pertama teknologi “pembunuhan” di Heroshima dan Nagasaki, atau teknologi penerbangan yang telah mencapai bulan, dan bidang teknologi informasi, telah memperdekat jarak antara benua.
Hal ini bahkan telah mengandisikan bahwa kecemasan dalam kehidupan sosial, telah dimulai oleh kemajuan ilmu dan teknologi sejak abad ke-20 ini. Boleh jadi, proyeksi untuk masa mendatang, merupakan pertalian dan benang merah rancangan abad ini, dan kecenderungan ke arah tersebut telah terasa sejak saat ini.
Fenomena yang terjadi menunjukkan adanya perubahan besar pada seluruh sektor kehidupan manusia. Alfin Toffler (1987:24), bahkan mengindikasikan seluruh gerak perubahan tersebut, sebagai telah hadirnya gelombang baru, gelombang ketiga. Dalam kaitannya dengan dua gelombang sebelumnya, Toffler mencirikan adanya revolusi agrikultural sebagai tanda hadirnya gelombang pertama. Sedangkan gelombang kedua, peradaban manusia dicirikan dengan menjamurnya industri, yang sekaligus menciptakan gaya hidup manusia juga bercorak industri dan serba industri. Memasuki gelombang ketiga ini, ciri yang diajukan adalah kemunculan kompleksitas dan derasnya arus perubahan.
Pesatnya, arus perubahan dan telah melahirkan kompleksitas dalam segala aspek kehidupan, mampu menyebabkan timbulnya kerisauan di kalangan para ahli dan pengamat sosial. Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar, H.A Tilaar (1987:2), menyatakan bahwa “...belum pernah umat manusia dalam sejarahnya berada dalam periode yang begitu menekan karena perubahan-perubahan sosial, karena terutama akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Kekhawatiran para pemerhati masalah-masalah sosial itu memang dapat dimengerti, terutama mengingat setiap perubahan akan dengan sendirinya mempengaruhi peradaban manusia dan menggoyahkan pranata sosial dalam masyarakat, bahkan yang telah mapan sekalipun. Dengan begitu, maka perubahan sistem nilai menjadi suatu yang tidak terhindarkan lagi, sekalipun tidak pernah dikehendaki oleh masyarakat penganutnya.
Bagi negara-negara yang sedang berkembang, kondisi tersebut menjadi sangat dilematis. Ketidakmampuannya mengatur perubahan perilaku, berarti sama halnya dengan menyiapkan diri dalam segala keterbelakangan. Sebagaimana dikatakan Soedjatmoko, bahwa negara-negara yang tidak dapat atau tidak mampu mengikuti revolusi industri mutakhir, akan ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kedudukannya sebagai negara merdeka.
Di bagian lain juga diungkapkan, bahwa umat manusia akan menjadi penghuni suatu dunia yang tidak menentu, yang padat penduduknya dan sangat kompetitif, banyak dihinggapi ketimpangan dalam perubahan yang berlangsung begitu pesat. Oleh karenanya, Soedjatmoko menyarankan agar manusia belajar hidup pada perubahan yang berlangsung terus-menerus, pada ketidakpastian, dan pada unpredictability, ketidakmampuan untuk memperhitungkan apa yang akan terjadi (Soedjatmoko, 1991).
Selain ketidakpastian tentang kondisi masa depan, dalam kecenderungan yang diperkirakan akan terjadi, terdapat pula beberapa tantangan yang harus dihadapi umat manusia. Untuk skala global, dapat dicontohkan terjadinya gejala memanasnya bumi, pertambahan penduduk dunia yang diperkirakan hampir lima setengah milyar, atau keharusan pasar bebas yang akan dimulai tahun 2020, merupakan sebagian tantangan yang harus dihadapi umat manusia.
Selain kecenderungan (trend) yang ada, ternyata globalisasi di berbagai bidang menghendaki dan menuntut hubungan antar negara di dunia semakin kuat. Dalam masa mendatang diproyeksikan, bahwa tidak ada lagi suatu negara atau bangsa yang dapat menyelesaikan persoalannya tanpa bekerjasama dengan negara lain, bagaimanapun kaya dan kuasanya negara tersebut (Mochtar Buchori, 1991:2).
Perlambang yang diberikan bagi dunia saat ini adalah, dunia ibarat tanpa dinding pemisah, dunia semakin transparan. Satu negara dapat dengan mudah melihat “rumah tangga” negara tetangganya, sehingga, persoalan yang terjadi di satu negara bukan milik negara itu sendiri. Hal ini menunjukkan ada persoalan-persoalan tertentu yang hanya dapat dipecahkan dengan cara kesepakatan dan kerjasama antar negara.
Mengamati arus globalisasi yang sdeang dan terus berlangsung ini, serta dalam upaya mengantisipasi hadirnya milenium baru, Presiden Soeharto telah mengingatkan bahwa: “...ada tanda-tanda yang kuat, bahwa menjelang akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini, dunia akan mengalami perubahan-perubahan besar dan mendalam di berbagai bidang dan tingkatan. Tanggungjawab moral kita adalah menghindarkan dunia dari kehancuran perang nuklir, karena ketidakadilan antara utara dan selatan, karena ketidakadilan pembangunan suatu negara, dan karena kerusakan lingkungan hidup. Di mana-mana kita juga menyaksikan gejala krisis di berabagai bidang antara lain bidang moral dan spiritual” (Pidato kenegaraan Presiden Soeharto di Depan Sidang DPR RI Tanggal 16 Agustus 1988:6).
Sinyalemen terakhir yang diungkapkan Presiden, mengindikasikan bahwa kita harus lebih berbenah diri dalam upaya meningkatkan moral masyarakat bangsa. Lebih dari itu, tujuan yang harus dicapai bersama adalah menghadirkan manusia-manusia pembangunan yang memiliki kekuatan moral dan spiritual yang tinggi. Pada sisi yang demikian, Republik ini membutuhkan manusia-manusia yang bukan hanya mampu secara akademis, akan tetapi juga arif dalam menyikapi segala keadaan, serta memiliki wawasan jangka panjang masa depannya.
Mengantisipasi Masa Depan
Dengan mengambil terminologi yang diajukan Toffler, jenis SDM yang diperlukan serta keterkaitan keduanya, maka pada setiapkurun waktu tertentu itu dibutuhkan jenis SDM yang sesuai dengan kondisi zamannya. Pada era gelombang pertama yang ditandai dengan kebangkitan peradaban agrikultural, maka yang diperlukan bagi pembangunan adalah manusia pembangunan yang mengerti dan mampu untuk mengembangkan sektor pertanian.
Begitu juga halnya pada era gelombang kedua, yang memerlukan kualitas teknis-ekonomis dan mental industrial yang lebih dominal diperlukan dalam upaya pembangunan. Berkaitan dengan akan segera hadirnya gelombang ketiga, dan menjelang milenium baru, maka jenis manusia (SDM) bagaimana yang diperlukan dalam upaya peningkatan pembangunan dan siapa yang harus menyiapkannya?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, maka yang harus diketahui pertama kali adalah kecenderungan apa yang akan hadir bersamaan dengan hadirnya milenium baru tersebut. Sebagai gambaran awal, masyarakat pada era tersebut akan dilanda arus informasi yang begitu deras. Dalam era ini, infromasi bahkan identik dengan kekuasaan, sehingga mereka yang memiliki kemampuan menguasai informasi, akan lebih memiliki kekuasaan dan posisi tawar menawar (bargaining position). Sejalan dengan uraian di atas, maka masyarakat bangsa ini, membutuhkan manusia yang memiliki pengetahuan dan teknologi, serta mampu mengantisipasi masa depan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai etis religius sebagai landasan berfikir dan bertingkah laku.
Selanjutnya, dalam kaitan dengan pertanyaan kedua, maka salah satu upaya mendasar yang dapat dilakukan hanyalah melalui jalur pendidikan. Hal tersebut dikarenakan pendidikan memiliki tugas untuk membenahi dan mengontrol pola fikir dan untuk selanjutnya melandasi serta menuntun segala aktivitas manusia ke arah kebaikan.
Pemilihan pendidikan bukan tanpa alasan. Setidaknya ada empat aspek yang mendukung diajukannya pendidikan sebagai alternatif terbaik. Pertama, pendidikan adalah salah satu cara yang mapan untuk memperkenalkan peserta didik pada keputusan sosial yang timbul. Kedua, pendidikan dapat dipakai untuk menanggulangi masalah-masalah sosial yang ada. Ketiga, pendidikan telah memperlihatkan kemampuan yang meningkat untuk menerima dan mengimplementasikan alternatif baru. Keempat, pendidikan merupakan instrumen terbaik yang dapat membimbing perkembangan manusia, sehingga pengamanan dari dalam dapat berkembang pada setiap anak, dan karena itu, terdorong untuk memberikan kontribusi pada kebudayaan hari esok (Shane, 1984:39-40).
Selain itu, dengan pendidikan manusia akan memperoleh kesadaran akan potensi kemanusiaannya, serta selanjutnya mempergunakan potensi tersebut bagi kepentingan kemanusiaan. Dalam proses pendidikan, manusia dikenalkan dengan berbagai aspek yang melengkapi unsur kemanusiaannya, serta pengenalan, dan pemahaman diri sebagai subjek wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah).
Dengan begitu, manusia diharapkan mampu untuk menguak rahasia-rahasia alam, memanfaatkan fasilitas yang disediakan alam, emmilih tindakan yang tepat untuk memperlakukannya. Selain itu, dapat melakukan kontak horisontal dengan sesama manusia, mengabdikan diri pada sang Khaliq, sebagai manifestasi pengakuan kehadiran Penciptanya (Q.S, 6:162).
Namun begitu, hal yang masih perlu dipertegas sesuai dengan pesan GBHN adalah, bahwa prioritas kita terutama masih terletak pada usaha konsolidasi dan peningkatan mutu pendidikan pada umumnya, termasuk pendidikan tinggi. Sehingga peningkatan mutu pendidikan merupakan satu keharusan yang tidak dapat ditawar dan ditunda-tunda lagi. Dalam konteks yang demikian, muncul pertanyaan bagaimanakah posisi pendidikan Islam dalam wacana tersebut? Bagaimanakah strategi pemberdayaan agar masyarakat muslim Indonesia secara moral tetap berada dalam hegemoni Islam sebagai penuntun hidupnya dalam menghadapi perubahan global dunia? Kita akan mencoba melihat posisi pendidikan Islam di Indonesia serta kemungkinan keharusan untuk mengoreksi diri sebagai antisipasi masa yang akan datang.
Pendidikan Islam di Indonesia
Penjelasan yang harus kita berikan terlebih dahulu adalah bagaimana yang dimaksud dengan pendidikan Islam. Hal ini penting agar secara jelas kita dapat membedakan mana yang benar-benar dapat dikatakan sebagai pendidikan Islam dan mana pendidikan yang tidak masuk dalam wilayah pendidikan Islam.
Istilah pendidikan Islam, sebenarnya memiliki tiga sisi penting yang menguatkan pemaknaannya. Pertama, berkaitan dengan institusi (kelembagaan). Kedua, berkaitan dengan proses pendidikan yang terjadi di dalam lembaganya yang disemangati dengan ruh Islam. Ketiga, berkaitan dengan subject matter yang diberikan pada lembaga yang bersangkutan.
Dalam hal ini, subject matter harus dipahami tidak hanya sekedar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam saja. Akan tetapi, seluruh mata pelajaran yang dapat menyadarkan peserta didik akan posisinya sebagai manusia, serta dengan kemampuan yang dimilikinya, dipusatkan pada kepentingan melakukan kegiatan dalam upaya pengabdiannya kepada Allah.
Dalam konteks tersebut, maka semua sekolah negeri yang hanya menyisipkan 2 jam pelajaran pendidikan Agama Islam, belum bisa dimasukkan dalam klasifikasi pendidikan Islam, sekalipun Mochtar Buchori dalam sebuah tulisannya telah memasukkan semua sekolah yang mengajar pendidikan agama Islam sebagai lembaga pendidikan Islam. Penyangkalan ini, lebih disebabkan pada aspek bahwa lembaga pendidikan yang demikian secara umum dan secara kelembagaan tidak bermaksud secar pasti menghasilkan output yang beriman dan bertaqwa, kecuali (yang cukup nyata) berilmu semata.
Dalam kaitannya dengan bentuk peluangnya, maka di sinilah kesempatan segenap organisasi atau lembaga pendidikan Islam memiliki kesempatan untuk bersaing dalam memperbutkan si terdidik yang muslim untuk menjadikan berilmu pengetahuan sekaligus membangun keshalihannya. Dalam konstelasi yang global ini pula, persaingan harus merupakan salah satu pemicu bagi peningkatan kualitas, sehingga untuk mendapatkan akses yang lebih besar, lembaga pendidikan Islam harus mampu menampilkan performance yang lebih baik.
Terlebih lagi keharusan untuk melindungi umat dalam menerima pendidikan, maka lembaga pendidikan Islam harus lebi bersiap untuk menampung kelebihan kuantitatif peminat pendidikan. Selain itu, bagi masyarakat muslim, pendidikan adalah salah satu unsur terpenting dalam kerangka pengabdiannya pada sang Khaliq.
Akan tetapi, sudah siapkah pendidikan Islam di Indonesia untuk mengambil alih dalam mendidik generasi muslim secara lebih bersahaja dan menghasilkan sesuatu yang adaptif dan memenuhi logika persaingan? Inilah persoalan kita, bahwa ternyata pendidikan Islam yang ada sekarang ini sangat tidak adaptif, tidak responsif terhadap logika kebutuhan, kualitas dan aspek kualitatif lainnya, sehingga, sebagaimana dikatakan Zamakhsyari Dhofier, pendidikan Islam di Indonesia hanya menempati posisi “kelas dua” dalam masyarakat bangsanya yang mayoritas muslim.
Kenyataannya jauh lebih sulit lagi (untuk membangun logika persaingan) adalah apa yang dialami dunia pesantren, sebagai kawasan yang sesungguhnya lebih layak untuk disebut sebagai lembaga pendidikan Islam. Tetapi, pesantren dengan segala kelebihannya itu, belum mampu mengarahkan diri pada pelahiran manusia yang mampu membangun peradaban, yang lebih kurang sama halnya dengan sistem pendidikan mdrasah, yang hanya lebih menonjolkan kemenagan di akhirat dan “mengalah” atas kepentingan dunia (A. Syafii Ma’arif, 1996:5-6).
Untuk itu, yang tampak lebih memiliki keuntungan moral dan meterial adalah lembaga-lembaga pendidikan yang satu atap dan bernafaskan Islam, seperti pendidikan di lingkungan Muhammadiyah, Ma’arif atau lembaga pendidikan yang bernafaskan Islam lainnya. Dalam kualifikasi yang lebih kurang, UII juga dapat dimasukkan dalam klasidikasi tersebut, kendati masih ada pakar yang tetap menolak pendapat yang mengatakan bahwa UII sudah merupakan pendidikan Islam, termasuk jika dilihat dari berbagai perangkat pendukung yang mengitarinya.
Lembaga pendidikan yang demikian ini, tampak lebih menunjukkan daya saing yang jelas. Dengan pendidikan SLTP dan SMU, para alumninya dapat lebih mengembangkan diri dalam wilayah yang luas dan tidak dikungkung oleh pemberlakuan politik pendidikan di negeri ini. Ini akan lain dan sangat berbeda oleh apa yang dialami oleh output lembaga pendidikan Islam seperti madrasah atau pondok pesantren, yang sesungguhnya sangat solid aspek pengajaran keislaman yang didapatkannya.
Khusus madrasah, sekalipun melalui SKB tiga menteri tahun 1975 telah disejajarkan dengan sekolah-sekolah umum, namun pada kenyataannya, “perlakuan” yang tetap hanya menempatkannya sebagai pendidikan khusus keagamaan, belum tampak beranjak secara berarti, apalagi sebagaimana yang diharapkan.
Namun begitu, berapa banyak generasi muslim yang mampu tertampung dalam lembaga pendidikan yang bernafaskan Islam dan masih tetap dianggap masih jauh dari pengharapan itu? Jumlah generasi Islam yang mendapatkan pendidikan yang cenderung “sekuler” jauh lebih tinggi, dan ditambah lagi dengan yang memilih lembaga pendidikan yang dikelola kalangan Nasrani. Ini kelak akan menjadi satu sisi lain yang akan semakin melemahkan posisi umat dalam memperjuangkan keberdayaannya.
Dalam konteks inilah, maka para pakar dan umat Islam di Indonesia, mestinya tidak pernah berhenti dalam mencari pemecahan yang mengupayakan optimalisasi peran pendidikan Islam dalam memberdayakan umat di Indonesia, sehingga dapat menjadi masyarakat yang diakui karena intelektual dan keimanan-ketaqwaanannya. Pada masa mendatang, umat dan bangsa ini, mengingat arus perubahan global masyarakat dunia: yang pasti berpengaruh pada Indonesia, tampak tidak begitu kondusif bagi pengembangan nilai-nilai moral secara utuh.
Dalam kaitan dengan perkembangan tersebut, fenomena TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an) atau lembaga sejenis, dan bahkan Pesantren Kilat bagi siswa SD, SLTP dan SMU, sesungguhnya tidak terpisahkan dari adanya kegelisahan terhadap trend global perubahan masyarakat. Namun segenap upaya ini belum tampak telah berkemampuan memenuhi tuntutan bekal bagi seseorang untuk mampu memberdayakan diri dalam perubahan, baik materi nilai ajaran agama maupun materi duniawi yang berujud ilmu pengetahuan yang memenuhi logika persaingan.
Dengan tidak bermaksud meniadakan peran-peran TPA, dan atau pesantren kilat dengan suatu kepositifannya, peran kedua jenis kelembagaan ini masih jauh dari kualitas pengaruh dan tantangan yang harus dihadapi seseorang. Untuk kasus TPA, bahkan telah sampai pada tingkat kejenuhan tertentu, baik karena trendnya yang mulai mengendur maupun karena mulai adanya keluhan-keluhan anak atas kelelahannya, yang harus belajar penuh setiap hari (pagi sekolah dan sore TPA).
Sisi lainnya adalah bahwa TPA dengan berbagai kelebihannya itu, hanya dikonsumsi oleh rata-rata kelas III SD ke bawah, sedangkan selebihnya yang justru sebagai kalangan yang banyak bergaul dan beradaptasi dengan sesuatu yang baru, tidak tersentuh lagi oleh suatu proses pendidikan moral secara berarti. Ini sesungguhnya kegelisahan baru yang harus kita tonjolkan dan cari pemecahannya.
Dalam keadaan yang demikian, sudah siapkah umat Islam di Indonesia untuk memberdayakan diri agar setiap menghadapi perubahan global masyarakat gelombang ketiga? Jawabannya ada pada kita masing-masing, dan untuk sementara persoalannya harus dipecahkan masing-masing pula, karena pendidikan Islam kita belum bisa diandalkan, sementara umat dituntut untuk berilmu sekaligus beriman, yang semakin tampak penting dalam era mendatang.
Kepustakaan
Ahmad Syafii Maarif. 1996. Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan sebagai Wawasan Pendidikan Muhammadiyah, Makalah RAKERNAS Pendidikan Muhammadiyah, 27-29 Agustus 1996 di Jakarta.
Al-Islamiyah. Nomor 1 Tahun V 1995. Media LPPAI UII Yogyakarta.
Freire, Paulo. 1987. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta:LP3ES.
Mochtar Buchori. 1991. Beberapa Masalah Dasar Pendidikan Bertalian dengan Pengembangan IPTEK di Indonesia Dewasa Ini. Makalah Seminar di IKIP Yogyakarta.
Naisbit, John dan Patricia Aburdene. 1990. Megatrend 2000. Jakarta: Binarupa Aksara.
Shane, Harold G. 1984. Arti Pendidikan bagi Masa Depan. Jakarta: CV. Rajawali.
Soedjatmoko. 1991. Nasionalisme sebagai Prospek Belajar. Prisma. Nomor 2 Tahun XX Hal. 27-31. Jakarta: LP3ES.
Toffler, Alfin. 1987. Gelombang Ketiga. Jakarta: Panca Simpati.
0 komentar:
Posting Komentar