Dalam Proses Belajar Mengajar (PBM), anak menjadi unsur yang teramat penting. Hal ini karena, fokus utama dalam proses pendidikan adalah membentuk anak menjadi manusia-manusia baru. Menjadikan mereka menyadari tentang potensi kemanusiaan yang dimiliki, serta mengajarkan untuk memanfaatkan potensi tersebut sesuai dengan norma budaya, dan agama yang dianutnya. Lebih dari itu, anak disadarkan untuk dapat memahami posisi kemanusiaannya, sehingga dia akan dapat mengenal diri dan penciptanya.
Dengan begitu, terminal akhir dari proses pendidikan adalah menjadikan anak sebagai manusia yang memiliki bekal ilmu, amal dan iman. Dengan ilmu yang dimiliki, anak akan dapat mempermudah kehidupan yang akan dijalaninya. Selain itu, dia juga akan mampu untuk secara bijak memilih dan memilah tindakan yang sesuai dengan norma budaya dan agama.
Terkait dengan amal, diharapkan anak akan terdorong untuk berkreasi menerapkan ilmu yang dimilikinya. Dalam konteks tersebut sudah seharusnyalah bekal normatif haruslah menjadi fondasi awal. Artinya, anak harus sejak dini memiliki keteguhan diri untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai normatif yang berlaku sesuai agama, dan masyarakat sekitarnya, dan tidak memberi hati pada penyimpangan-penyimpangan yang bertentangan dengan ajaran moral.
Dengan demikian, rujukan kreativitas dalam mengimplementasikan ilmu yang dimilikinya bukan sekadar berorientasi pada materi keduniawian (hubbud dunya), namun sebagai kewajiban manusiawi dalam konteks pengabdiannya kepada Dzat Kang Murbeng Jagad Gumelar. Pada posisi tersebut kita akan mendapati anak yang selalu mendasari perilaku hidupnya dengan dasar-dasar agama dan ajaran moral masyarakatnya. Dalam bahasa agama disebut sebagai anak yang memiliki akhlaq mulia (akhlaqul karimah).
Sementara itu untuk menunjang daya kreasi dan aksi sesuai dengan format yang diinginkan, pendidikan diharapkan mampu menguatkan nilai-nilai iman yang telah dimiliki anahk. Dalam konteks yang demikian, pendidikan diharapkan bertugas untuk merangsang anak untuk selalu menegakkan kebenaran universal berdasar kaidah agama dan ajaran moral, dan bukan kebenaran subjektif yang dapat menyesatkan.
Dengan begitu harus disadari bahwa sebenarnya proses pendidikan bukan hanya sekadar meninggikan dimensi kognitif dan psikomotorik saja. Namun juga harus mampu mengembangkan sisi afektif anak didik. Hanya saja kerap tidak disadari proses pendidikan terkadang mengabaikan dimensi ini. Alasan yang sering diajukan adalah kesulitan untuk mengukur aspek ini, dan lebih parah lagi adalah terjadinya kekeliruan dalam menilai aspek afektif yang kerap didasarkan pada angka-angka saja.
Kondisi Empirik
Mencermati paparan di muka, terasa begitu tingginya nilai-nilai yang diharapkan dari sebuah proses pendidikan. Dengan sendirinya dibutuhkan kerja yang serius dan bertanggungjawab dalam mengelolan ”mega proyek” ini. Hanya saja, jika melihat kondisi yang ada, tampaknya sekolah berjalan sendiri dalam menegakkan idealitanya. Masyarakat begitu percayanya pada sekolah, hingga terkadang tidak mau tahu apa yang terjadi di sekolah. Yang terjadi kemudian adalah, kerap terjadi ketidaksamaan pandangan antara sekolah, orangtua, dan masyarakat pada umumnya.
Sebenarnya dengan menyadari konsep tri-pusat pendidikan sebagaimana diajarkan Ki Hadjar Dewantara, maka komponen yang harus bertanggungjawab secara moral bukan hanya sekolah, tetapi juga keluarga serta masyarakat. Ketiga komponen tersebut harus saling menguatkan demi terwujudnya idealita yang dicita-citakan. Dengan begitu, aktifnya satu komponen saja jelas tidak dapat diharapkan secara optimal untuk dapat mewujudkan keinginan luhur tersebut.
Salah satu contoh yang dapat mengganggu keberhasilan proses pendidikan adalah adanya oknum orangtua yang turut mencampuri proses penilaian yang semestinya menjadi hak penuh sekolah. Orangtua semacam itu biasanya selalu beranggapan bahwa anaknya-lah yang terbaik, dan pantas memiliki segala atribut prestasi.
Sudah barang tentu dapat dipastikan bahwa orangtua seperti ini sulit untuk dapat menerima kenyataan, seandainya performance anaknya tidak sesuai dengan gambaran yang dimilikinya selama ini. Makna lebih jauh adalah, orangtua tersebut secara tidak sadar telah memaksakan segala simbol keberhasilan kepada anaknya, yang sebenarnya tidak sesuai dengan kapasitas dan kemampuan sang anak.
Sikap tersebut akan tampak lebih kentara jika mengetahui anaknya gagal dalam ujian kenaikan kelas atau ujian kelulusan sebagaimana sekarang ini. Kenyataan yang sering terjadi di masyarakat, jika si anak gagal atau tidak naik kelas, maka untuk menutup rasa malu tersebut ada orangtua yang berusaha melobi para guru dan kepala sekolah agar si anak dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi, tentunya dengan segala ubo rampe yang dapat menggoyahkan pendirian para guru.
Di lain sisi, guru bukanlah manusia suci yang terlepas dari kebutuhan materi. Dan seandainya upaya orangtua tersebut bersambut dengan kebutuhan guru yang mendesak, maka yang terjadi adalah penyulapan angka-angka raport. Atau, jika karena keteguhan guru menolak upeti orangtua dan tetap bersikukuh dengan hasil penilaiannya, sementara keinginan orangtua untuk menutup malu begitu kuat, maka biasanya yang dilakukan orangtua adalah memaksa untuk mengajukan mutasi (pindah) sekolah bagi anaknya.
Seandainya dengan pelbagai kemampuan yang dimiliki orangtua dan si anak dapat pindah ke sekolah lain, maka anak akan kembali dari titik awal untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungannya yang baru. Tentunya hal tersebut bukanlah satu hal yang mudah.
Jika disimak pelbagai upaya tersebut di atas, sebenarnya orangta secara tidak langsung telah mendidik anak untuk tidak menerima kenyataan yang terjadi pada dirinya. Yang lebih buruk lagi, anak akan memahami bahwa kegagalan sebagai suatu hal yang memalukan dan harus diatasi dengan cara menutup malu tersebut, meski harus melakukan penyimpangan ataupun melanggar etika.
Pada akhirnya orangtua, dan guru –yang mau menerima upeti dan melakukan penyimpangan- secara tidak langsung telah berkontribusi dalam menanamkan sifat dan sikap negatif pada diri anak. Pada giliran selanjutnya, sikap tersebut akan ditampilkan si anak jauh melebihi apa yang telah dilakukan orangtua dan gurunya.
Ujian Nasional dan Pendidikan Realitas
Pada tanggal 13 Juni 2007, telah diumumkan hasil Ujian Nasional untuk tingkat SMA dan yang sederajat, adapun untuk tingkat SMP dan yang sederajat pelaksanaan pengumumannya sekitar tanggal 23 Juni 2007. Meski masih terjadi pro-kontra tentang pelaksanaan ujian nasional (UN), namun ada hikmah yang dapat dipetik dari hasil pelaksanaan UN tersebut.
Banyak cerita tentang sekolah pada masa lalu yang saya dengar, dan bagian sejarah itu juga saya alami sendiri. Pengalaman masa kecil saat bersekolah sejak di Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah, setiap kali rapor saya ada yang merah, maka sayalah yang mendapat marah dari orangtua, dan saya disalahkan karena tidak belajar dengan tekun. Itu sejarah masa lalu saya, tetapi saat ini saya mendengar bahwa jika ada anak yang tidak lulus atau tidak naik kelas, maka sasaran kemarahan orangtua adalah sekolah dan guru.
Saat pelaksanaan UN tahun lalu digelar, dan banyak ”korban berjatuhan” -istilah yang dipakai beberapa media untuk menggambarkan mereka yang tidak lulus- situasi ini ditanggapi dengan kaca mata berbeda oleh beberapa kalangan masyarakat. Bukan hanya sekadar protes keras yang dilakukan beberapa elemen masyarakat tersebut, bahkan hingga gugatan pada sidang pengadilan.
Kegagalan disikapi oleh para orangtua secara berlebihan, dan pada akhirnya sikap yang di luar yang dibayangkan para orangtua juga muncul pada anak-anak kita. Setidaknya dapat kita baca di beberapa media ada anak yang mencoba bunuh diri karena gagal dalam UN. Mengapa begitu?
Inilah buah yang kita ajarkan pada anak-anak kita. Bahwa kegagalan adalah rasa malu, dan rasa malu harus ditutupi dengan berbagai cara. Dan karena UN, maka cara-cara ilegal tidak dapat lagi ditempuh, lantas jalan termudah menutup rasa malu adalah bunuh diri? Rasionalkah cara berpikir ini? Dan bagi orangtua, maka jalur yang mungkin dilakukan adalah melalui jalur hukum.
Barangkali sekaranglah masanya bagi kita untuk mengajari anak-anak kita untuk dapat menerima kenyataan. Bahwa sebuah kegagalan bukanlah akhir dari kehidupan, bahwa sebuah kegagalan adalah sukses yang tertunda. Dan tidak lulus UN bukanlah kiamat, masih ada kesempatan untuk belajar di masa datang, so what gitu lho?. Thomas Alva Edison, adalah anak yang dikenal lamban –untuk tidak menyebutnya bodoh- di kelasnya. Tetapi karena ketekunanya, dia berhasil menciptakan listrik yang hingga saat ini kita pakai. Kita harus belajar dari kegagalan Edison di kelas, serta keberhasilannya di situasi lain.
Pertanyaannya kemudian, relakah kita menerima kegagalan anak-anak kita? Atau justru kita sendiri yang tidak dapat menerima kenyataan, lantas bagaimana bisa kita mengajarkan anak-anak kita untuk menerima kenyataan?
0 komentar:
Posting Komentar